Kalam HikmahNasionalOpiniResensi BukuSastraTokoh

Pelajaran Kesabaran dari Trilogi kedua Novel Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna

Novel Ranah 3 Warna
Buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara

Identitas Novel

Judul            : Ranah 3 Warna

Penulis         : A Fuadi

Penerbit       : PT Gramedia Pustaka Utama

Ketebalan    : 473 halaman

Cetakan        : Ketiga, 2011

ISBN             : 978–979–22–6325–1

Peresensi      : Eliza Fitri Kamaliya

 

Resensi Novel Ranah 3 Muara

Novel Ranah 3 warna merupakan novel kedua dari trilogi Negeri 5 Menara. Novel ini ditulis oleh Ahmad Fuadi, seorang novelis dan juga mantan wartawan TEMPO dan VOA kelahiran Nagari Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau 30 Desember 1972. Keahliannya dalam bercerita dan merangkai kata tidak diragunkan lagi. Dengan segudang prestasi yang pernah disandangnya, Fuadi dapat menularkan semangat perjuangan luar biasa yang dapat kita rasakan ketika membaca novel ini. Fuadi menulis novel ini dengan menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal, sehingga para pembaca akan merasakan kedekatan dan keintiman dengan tokoh utamanya.

Novel ini memiliki banyak kelebihan. Penulis benar-benar dapat membawa pembaca untuk merasakan bagaimana susahnya berjuang di tengah keterbatasan, menyelami hari-hari yang penuh dengan perjuangan, serta penjelajahan ke benua Amerika yang sarat dengan pelajaran kebudayaan.

Kalau dalam trilogi pertama, novel Negeri 5 Menara, penulis lebih menekankan makna dari sebuah mantra man jadda wa jadda atau barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Maka dalam novel ranah 3 warna ini penulis mengajak para pembaca untuk mengetahui makna sesungguhnya mantra man shabara zhafira atau barangsiapa yang bersabar maka dia akan beruntung.

Baca juga : Kisah Kesabaran KH. Ali Maksum

Pembaca akan diajak untuk memaknai hidup yang sulit. Tidak hanya melaluinya dengan bekerja keras, karena tidak akan cukup dan tidak ada jaminan keberhasilan setelahnya. Maka disini peran sabar sangat diperlukan. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar akan menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Hal tersebut digambarkan ketika Alif telah menamatkan sekolah di Pondok Pesantren Madani yang tidak mengeluarkan ijazah. Sehingga Alif harus mengikuti ujian persamaan untuk mendapatkannya dan mewujudkan mimpinya untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Tentu perjuangan yang dilakukan tidak mudah. Awalnya, ia berkeinginan untuk berkuliah di ITB, namun pelajaran hitung-hitungan seperti fisika dan kimia ternyata tidak mudah ia lahap sendiri dalam waktu yang sangat singkat. Akhirnya dengan berat hati, pikiran yang realistisnya menuntunnya untuk mengambil jurusan IPS. Banyak yang iba bahkan memandang sebelah mata. Namun Alif tidak gentar, hal tersebut ia jadikan semangat untuk terus maju. Dengan ketekukan dan kesabaran yang penuh akhirnya ia berhasil diterima di  jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran, Bandung.

Selama merantau di bandung pun banyak sekali permasalahan yang menghampiri, mulai dari tidak punya tempat tinggal, uang yang pas-pas an, dan ayahnya yang meninggal karena sakit. Namun Alif selalu bangkit dan bekerja keras supaya impiannya terwujud. Salah satu impiannya yang terwujud adalah belajar di Benua Amerika yang berhasil ia dapatkan dengan mengikuti program pertukaran pelajar.

Sayang sekali, selama di Benua Amerika penggambaran tokoh Alif kurang begitu mendalam. Tidak ada konflik yang sangat mengena. Hal ini terlepas dari pembelajaran kebudayaan dan kecintaan terhadap tanah air yang dapat diambil para pembaca selama Alif berada di Benua Amerika.

Cerita tersebut hanya sekelumit saja, masih banyak cerita perjuangan lainnya yang dapat pembaca ambil hikmahnya dari membaca novel ini. Pembaca akan diajari bagaimana menghargai waktu yang singkat dan tidak pernah kembali. Meskipun sudah terbit 10 tahun yang lalu rasanya novel ini tetap relevan dibaca para pemuda. Khususnya para pemuda zaman now yang gemar sekali menunda-nunda waktu untuk melakukan pekerjaan dengan dalih “masih bisa dikerjakan nanti”. Padahal tidak ada yang menjamin bahwa nanti akan punya waktu luang seperti sekarang.

Lan tarji’ ayyamullati madhat

Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu.

Selain itu, pembaca juga diajari bahwa untuk mencapai segala sesuatu harus dilakukan dengan bekerja keras. Disini penulis menyelipkan nasihat dari imam syafi’i. “Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang”. Sehingga bekerja keras menjadi hal wajib supaya hal baik di masa depan tidak tertunda.

Namun, bekerja keras saja ternyata tidak cukup. Perlu adanya kesabaran. Penulis menyelipkan sebuah mantra yang menjadi gambaran penuh dari keseluruhan ini novel yaitu mantra man sabara dhafira, barangsiapa yang bersabar maka dia akan beruntung. Karena antara kerja keras dan sukses tidak berbelahan namun memiliki jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter atau bahkan berkilo-kilo meter dan hanya bisa di isi dengan doa dan kesabaran yang kukuh.

Tuhan sungguh bersama hambanya yang sabar.

Oleh   : Eliza Fitri Kamaliya

Editor : Rifqi Hayyinul Ula

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *