ArtikelSastraTokoh

KH Marzuki Mustamar, Kiai Yang Senantiasa Cinta NKRI

KH Marzuki Mustamar, Kiai Yang Senantiasa Cinta NKRI

Oleh: Mahalasari*

“NKRI Harga Mati, NU selalu di hati”. Begitulah kiranya semboyan yang selalu diungkapkan Kiai Marzuki Mustamar di sela-sela ngaji kitab kuning secara bandongan, bersama para santri di Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Malang. Hal ini membuktikan bahwa Mustasyar PCNU kota Malang ini sangat mencintai NKRI. Sebagaimana Gus Dur dengan segala pemikirannya tentang pluralisme, kiai kelahiran kota Blitar ini tidak memustahilkan adanya keberagaman dan senantiasa menanamkan sikap toleransi demi kerukunan antar umat beragama. Sebagai bukti, kiai yang sangat berpengaruh di masyarakat dan santri ini pernah mengundang beberapa tokoh lintas agama pada beberapa kesempatan, bahkan pernah juga didatangi tokoh-tokoh lintas agama dalam rangka menjalin silaturrahim. Hal ini yang menjadi pegangan Kiai Marzuki, bahwa Islam itu teduh, bukan saling menuduh.

Dalam berbagai kesempatan dakwah, kiai yang dijuluki sebagai Singa-nya NU ini selalu memberikan pengetahuan-pengetahuan penting tentang kebangsaan. Bahwa kecintaan terhadap tanah air adalah sebagian dari iman. Betapa tidak, hal tersebut juga telah dirumuskan dalam sila-sila pancasila sebagai ideologi bangsa. Wawasan kebangsan ini tidak hanya disampaikan kepada para santri, tetapi juga kepada para jamaahnya. Begitulah putra Mbah Mustamar Blitar ini, selalu menyampaikan dakwah-dakwahnya secara tegas dan lugas. Dapat dimengerti semua pihak, baik oleh para santri yang mayoritas mahasiswa, maupun masyarakat yang masih awam sekalipun.

Penyampaian dakwah yang disertai dengan dagelan-dagelan ringan, membuat siapapun yang mendengarnya, secara langsung menangkap apa yang disampaikan. Dengan kesederhanaannya, mampu berbaur dengan masyarakat umum. Bahkan karena kesederhanaannya, dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang ini tidak pernah meninggalkan sarung dan peci sebagai ciri khasnya, bahkan ketika mengajar di kampus ataupun dalam menghadiri berbagai acara.

Berbeda dengan kiai pada umumnya. Abah Marzuki, demikian sapaan akrab para santri, bukan hanya berasal dari putra kiai yang memiliki pondok pesantren saja, namun gelar kiai berasal dari anggapan masyarakat, yang tidak lain karena kealiman ilmu serta kharismatik yang dimiliki. Kiai yang pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PWNU Jawa Timur ini juga belajar kepada salah seorang kiai yang dikenal alim dan berpandangan luas, yaitu KH Masduqi Mahfudz. Kiai tersebut pengaruhnya demikian kuat di masyarakat, sehingga melahirkan kiai-kiai alim sebagai penerus perjuangannya, seperti Kiai Chamzawi yang saat ini menjabat sebagai Rais Syuriah PCNU kota Malang, Kiai Marzuki Mustamar sendiri dan kiai-kiai lainnya.

Baca juga : Kisah Banser yang Ikhlas

Pergaulan kiai yang lahir 22 september 1966 tersebut sangat berpengaruh dan cukup luas. Banyak masyarakat luas dan para jamaah ikut mendukung usahanya dalam mengembangkan pendidikan. Selain mengasuh pondok pesantren, kiai yang kira-kira berusia 51-an tahun tersebut juga membuka lembaga pendidikan madrasah maupun sekolah umum (SMP Islam maupun SMA Islam). Bahkan di tengah-tengah jadwalnya yang padat untuk umat, saat ini juga berstatus sebagai salah satu kiai yang sangat berpengaruh bagi warga Nahdliyin. Aktivitasnya itu menjadikan dirinya mampu menempati dimensi kehidupan yang luas. Sebagai seorang pemimpin sekaligus pengasuh pondok pesantren, Kiai Marzuki Mustamar tidak hanya akrab dengan sebutan kiai spiritual, tetapi juga sebagai kiai kharismatik dan advokatif sekaligus.

Pengembangan lembaga pendidikan yang diasuhnya sudah dikaitkan dengan misi dakwah yang lebih luas. Kiai yang memiliki santri putra dan putri yang hampir mencapai 1000-an ini barpandangan bahwa, jika para santri hanya belajar kitab kuning, mereka akan kalah bersaing dengan umat lain yang lebih maju. Barangkali ini yang menjadi titik penting pengembangan lembaga pendidikan yang didirikannya. Para santri tidak hanya diajarkan bagaimana meraih akhirat, tetapi dua-duanya harus seimbang antara dunia dan akhirat. Sehingga dalam membangun kebahagiaan dunia, tidak hanya didasari dengan ilmu pengetahuan umum yang luas dan tidak didasari dengan akhlak atau budi pekerti yang luhur. Karena pada dasarnya, penyandang akhlak mulia akan memanfaatkan ilmunya untuk kepentingan kehidupan yang lebih luas.

Penyandang ilmu pengetahuan yang tidak didasari dengan akhlak dan budi pekerti mulia, justru akan membuat kerusakan masyarakatnya. Oleh karena itu, pendidikan pondok pesantren sangat penting dalam pembangunan karakter para santri, yang notabene akan menjadi agen penerus bangsa. Tetapi di lain sisi, juga harus mengembangkan jenis lembaga pendidikan yang mengarah pada upaya mencerdaskan dan membuat para santri memiliki keterampilan.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, santri di Ponpes Sabilurrosyad, Gasek-Malang sekaligus pegiat literasi santri.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *