Artikel

Tradisi, Hukum dan Konsensus Ulama’

Di beberapa literatur agama, sering kali kita mendapatkan bahwa Islam adalah agama yang Rahmatal lil ‘alamin salihi likulli zaman wa makan artinya segala kondisi dan situasi ajaran Islam dapat dijalankan dengan baik dan benar, pada setiap waktu dan tempat.

Ajaran agama Islam yang paling utama adalah mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat-Nya, sebagaimana yang telah dinashkan dalam Al-Qur’an QS. An Nahl ayat 60. Di samping itu keberagaman yang meliputi sosial dan budaya tentu menjadi permasalahan khusus dalam menjalankan  syariat beragama, misalnya perbedaan sistem nilai, norma sosial dan tradisi adat istiadat. Oleh karena itu, sistem hukum Islam selalu memfasilitasi dan mengakomodasi segala hajat hidup manusia sesuai dengan perkembangan zamannya. Lalu yang menjadi titik utama pada artikel ini bagaimana pengaruh tradisi dalam penetapan hukum Islam?.

Pengertian Tradisi

Tradisi adalah suatu produk budaya yang diwariskan secara turun temurun dan berlangsung pada masyarakat tertentu. Dalam term Islam tradisi diistilahkan sebagai ‘urf (kebiasaan) sedangkan Menurut Syekh Abdul Wahab Khalaf dalam karyanya ilmu Ushulil Fiqh mengatakan:

 العَرْفُ هُوَ مَا تَعَارَفَهُ النَّاس وَسَارُوا عَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أوْ تَرْكٍ

“Tradisi adalah yang dikenal khalayak dan menjadi kebiasaan mereka baik berupa ucapan, maupun kebiasaan yang dikerjakan atau ditinggalkan”. Dalam pengertian ini dapat disimpulkan tradisi itu cakupannya luas, tidak sebatas tindakannya saja tetapi ungkapan serta kebiasaan yang ditinggalkan juga termasuk bagian dari tradisi sendiri.

Terdapat beberapa dalil Al-Qur’an dan Hadist yang memberikan legitimasi terhadap persoalan tradisi tersebut, dalil Al Qur’an ada dalam QS Al A’raf ayat 199, Allah berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang untuk mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang orang bodoh”

Sedangkan dari hadistnya adalah sebagai berikut:

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلُ اللّهِ قَدِمَ المَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسَلِّفُوْنَ فِي الثَّمَرِالسَّنَةَ والسَّنَتَيْنِ. فَقَالَ ( مَنْ سَلَّفَ فَلْيُسَلَّفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ وَأَجَلٍ مَعْلُوْمٍ

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah datang ke Madinah, masyarakat disana (terbiasa) melakukan transaksi akad salam terhadap buah selama setahun atau dua tahun. Rasulullah pun bersabda: barang siapa yang berakad salam maka lakukanlah dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan tempo yang jelas”.

Maksud kata al Urf dalam ayat ini dengan mengutip penafsiran dari Syekh Wahbah Az Zuhaili adalah suatu kebiasaan, baik dalam perkataan maupun perbuatan yang dikenal dengan baik dan mulia, tentu ayat tersebut harus tidak berseberangan dengan syariat (lihat tafsirAl Munir halaman 212).

Pembentukan Hukum

Beberapa ulama’ melegitimasi suatu kebiasaan atau ‘urf menjadi salah satu pijakan hukum Islam, karena tradisi adat dan istiadat memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi akan membentuk identitas, norma, nilai dan berperilaku masyarakat, oleh karena itu tradisi dianggap sebagai pondasi yang mempertahankan stabilitas masyarakat. sehingga muncul salah satu kaidah yang digagas oleh para ulama’ yang tertuang dalam beberapa literatur fikih klasik yaitu:

العادت محكمة

“tradisi bisa dijadikan hukum”

Kemudian, sumber hukum diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu pertama sumber hukum yang telah disepakati (mujma’ alaih) diantaranya Al-Qur’an, as Sunnah, ijma’ dan Qiyas. Kedua sumber hukum yang masih diperdebatkan di beberapa kalangan ulama’ (mukhtalaf fih) yaitu maslahah mursalah, syari’at umat terdahulu (Syar’u man Qablana), istihsan, istishab, mazhab para sahabat dan tradisi atau adat istiadat. Dengan demikian sumber hukum itu tidak terpaku pada Al-Qur’an dan hadis saja.

Akan tetapi  tidak sembarangan tradisi bisa diserap oleh Islam, terdapat proses akulturasi agar tidak berbenturan dengan nilai dan prinsip agama, oleh sebab itu para ulama memberikan beberapa syarat bagi tradisi yang mendapat legalitas dan dapat dijadikan sumber hukum,

Pertama, tradisi tersebut masih tetap terjaga hingga sekarang atau berlaku pada setiap masa dan mendominasi. dari sini muncul kaidah:

أِنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ أِذَا اطَّرَدَتْ أْوْ غَلَبَتْ

Kedua, tradisi tersebut bersifat umum yang dilakukan banyak orang bukan individu. Hal ini sesuai dengan kaidah

العِبْرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لَا لِلنَادِرِ

Ketiga, tradisi tersebut tidak muncul setelah adanya ketetapan hukum, maksudnya tradisi yang dianut telah ada pada sebelumnya bukan turunan yang muncul belakangan setelah adanya ketetapan hukum maka yang seperti ini tidak dapat dijadikan hujah karena sifatnya baru, dari ini muncullah kaidah

 لَا عِبْرَةَ بِا لعُرْفِ الطَّارِئِ

Tentunya, selain persyaratan persyaratan diatas, terdapat satu syarat yang paling krusial yakni tradisi yang ada tidak berbenturan dengan nash Al-Qur’an dan hadist.

Pandangan  Ulama’ Terhadap Tradisi

Adapun ulama’ tempo dulu, kerap kali menggunakan tradisi sebagai pijakan untuk menentukan sebuah hukum, seperti Imam Malik yang membangun hukum fikihnya sesuai dengan adat atau tradisi sahabat yang berada di Madinah yang kemudian dikenal dengan ‘amal ahli Madinah. Begitu pula Imam Syafi’i sendiri memiliki dua pendapat yang dikenal dengan qoul qadim dan qoul jadid. hal tersebut tak lain karena dipicu oleh perbedaan faktor tradisi yang terjadi antara di Baghdad dan Mesir.

Bahkan para ulama yang  menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya walisongo mereka menggunakan akulturasi budaya untuk menghadirkan nuansa Islam yang sejuk di masyarakat. Misalnya budaya yang berhasil di modifikasi hingga mampu menyelipkan nilai-nilai keislaman ialah tahlilan, dan selamatan.

Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, tidak ada alasan untuk tidak menerima tradisi kecuali berseberangan dengan syariat. Mengutip perkataan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud: “setiap sesuatu yang dianggap baik oleh orang Islam, maka menurut Allah hal itu juga baik. Betapa sempitnya nalar hukum jika hanya berpatok pada Al-Qur’an dan hadis saja”.

Penulis: Novia Ulfa Isnaini

Editor: Musa Al Kahfi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *