ArtikelDunia IslamEssay

Kontroversi Larangan dan Izin Penulisan Hadis pada Masa Rasulullah

Sejak masa Nabi tradisi kelisanan dan keaksaraan pada kajian hadis berjalan secara bersamaan. Sebagian sahabat menulis hadis dan sebagiannya tidak. Penulisan sunah Nabi yang kemudian bertransformasi ke dalam bentuk hadis terjadi karena inisiatif sahabat sendiri dan ada juga karena perintah langsung dari Nabi.

Hadis tentang Larangan Penulisan Hadis

Pada masa awal keislaman, Rasulullah saw. tidak merestui para penulis wahyu mencatat sabda-sabdanya selain al-Qur’an. Sebagai tindak lanjut dari ketidaksetujuan tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan menghapus segala catatan yang berhubungan dengan tulisan selain al-Qur’an. Sebagaimana dalam hadis berikut:

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِي، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ، وَحَدِّثُوا عَنِّي، وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ – قَالَ هَمَّامٌ : أَحْسِبُهُ قَالَ – مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Haddab ibn Khalid al-Azdi menceritakan kepada kami, Hammam menceritakan kepada kami dari Zaid ibn Aslam, dari ‘Athok ibn Yasar, dari Abu Sa‘id al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: kalian jangan menulis apa-apa dariku. Barang siapa menulis dariku selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan sampaikanlah hadis dariku, dan itu tidak berdosa. Barang siapa berdusta atas namaku Hammam berkata: anggapan saya Rasulullah SAW. bersabda: secara sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempat dudukmya dari neraka.

Rasulullah Saw. melarang dan tidak menyenangi para sahabat mencatat hadis yang beliau sabdakan. Namun, walaupun dalam riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. melarang beberapa sahabat mencatat hadis, bukan berarti beliau tidak memberi kesempatan kepada orang-orang tertentu untuk mencatatnya. Karena dalam beberapa peristiwa lain, ada kecenderungan bahwa larangan Rasulullah saw. tidak mutlak.

Faktor-faktorTidak Tercatatnya Hadis Nabi

Pada masa itu, banyak hadis Nabi yang para sahabat tidak menuliskannya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor menurut penjelasan M. Syuhudi Ismail, yaitu:

  1. Nabi tidak selalu menyampaikan hadis di hadapan sahabat yang pandai menulis hadis.
  2. Perhatian Nabi dan para sahabat lebih tertuju pada Al-Qur’an.
  3. Nabi mempunyai beberapa sekretaris yang hanya mendapat tugas untuk menuliskan wahyu dan surat Nabi.
  4. Sangat sulit untuk mencatat langsung dari orang lain segala perkataan, perbuatan, taqrir dan kejadian orang yang masih hidup, apalagi jika menggunakan peralatan yang sangat sederhana.
Motivasi Sahabat dalam Menghafal Hadis

Para sahabat berusaha menghafal hadis yang mereka terima dari Nabi dengan serius. Mereka sangat takut dengan ancaman Rasulullah. Oleh karena itu, mereka berhati-hati agar tidak salah dalam menerima apa yang beliau sampaikan. Adapun dorongan yang cukup kuat untuk memotivasi para sahabat dalam menghafal hadis, yaitu:

  1. Hafalan merupakan budaya masyarakat Arab yang menjadi warisan sejak sebelum Islam, dan mereka unggul dengan kemampuan menghafal yang kuat.
  2. Rasulullah saw. memberikan banyak orang semangat melalui doanya.
  3. Beliau sering menjanjikan kebaikan akhirat kepada orang yang menghafal hadis dan menyebarkannya kepada orang lain.

Baca juga: Cara Mengkaji Sanad dan Matan Hadits untuk Kalangan Pemula

Hadis tentang Izin Penulisan Hadis

Para sahabat mampu menghafal hadis di luar kepala dan meriwayatkannya secara musyafahah. Hanya sedikit dari golongan sahabat yang menulis hadis seperti ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash yang Rasulullah saw. memberi izin baginya untuk menulis hadis, seperti di dalam hadis berikut ini:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَا: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ الْأَحْنَسِ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُغِيثٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْسٌ وَقَالُوا: أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ، والرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَوْمَأَ بِأَصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ، فَقَالَ: اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ

Musaddad dan Abu Bakr ibn Abi Syaibah menceritakan kepada kami, dari ‘Ubayd Allah ibn al-Akhnas, dari al-Walid ibn ‘Abd Allah ibn Abi Mughits, dari Yusuf ibn Mahak, dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr. Ia berkata: saya menulis setiap hadis yang saya dengar dariRasulullah Saw. saya ingin menghafalkannya, kemudian orang Quraisy melarang saya. Mereka berkata: apakah kamu menulis setiap apa yang kamu dengar dari Rasulullah SAW., dan beliau adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah atau senang. Maka saya berhenti menulis hadis. Kemudian saya menceritakan hal tersebut pada Rasulullah Saw., kemudian beliau menunjuk dengan jarinya ke mulutnya. Kemudian beliau bersabda: Tulislah! Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (mulut Rasulullah Saw) kecuali yang hak.

Perbedaan Pendapat tentang Izin dan Larangan Penulisan Hadis

Hadis tentang izin penulisan hadis oleh ‘Abdullah ibn ‘Amr tersebut memang tampak bertentangan dengan hadis lain oleh perawi Abu Sa’id al-Khudri, yang mengandung larangan penulisan hadis. Untuk menghadapi dua hadis tersebut ada beberapa pendapat, yaitu:

  1. Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisan ada pada periode akhir kerasulan.
  2. Larangan penulisan hadis tertuju bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan al-Qur’an. Izin menulis hadis adalah untuk orang yang pandai menulis dan tidak khawatir salah serta bercampur dengan al-Qur’an.
  3. Larangan itu adalah bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak mendapat larangan menulis hadis.
  4. Larangan menulis hadis dicabut (di-mansukh) oleh izin menulis hadis, karena tidak khawatir adanya pemcampuran catatan hadis dengan al-Qur’an.
  5. Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadis bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadis dan catatan al-Qur’an.
  6. Larangan adalah untuk kodifikasi formal, sedangkan izin untuk sekadar bentuk catatan yang dipakai sendiri.
  7. Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun ketika sudah, maka ada izin untuk penulisan hadis.

Baca juga: Sejarah Ilmu Mantiq: Ilmu Logika yang Dikembangkan Aristoteles

Kesimpulan dari Kedua Hadis

Dari kedua versi hadis yang bertentangan tersebut, terdapat kesimpulan bahwa tidak mungkin kemunculan kedua versi tersebut terjadi secara bersamaan. Dalam hal ini, kemungkinan munculnya larangan pencatatan hadis lebih dahulu ada daripada pembolehan pencatatan hadis. Pembolehan pencatatan hadis itu sendiri  ada setelah hilangnya sebab-sebab yang berimplikasi pada pelarangan. Para sahabat pada mulanya selalu bersegera mencatat apa saja yang terjadi dan apa saja yang Rasulullah ajarkan. Hal itu mendapat izin beliau. Terlepas dari adanya hadis-hadis yang bertentangan mengenai masalah kepenulisan hadis, ternyata di antara para sahabat ada yang memiliki kumpulan-kumpulan hadis tertulis secara pribadi.

 

Penulis: Wahidatul Nikmah (Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang menempuh Program Studi Ilmu Hadis, sekaligus Santri Lubabul Fattah)

Editor: Alifa Zainar Naasha

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *