CerpenSastra

Ephemeral

Keringnya jalanan kini mulai tertutup rintik hujan yang turun semakin deras. Mendung datang secara tiba-tiba, menumpahkan sedihnya pada kota penuh kesibukan manusia. Memaksa orang-orang untuk menghentikan aktivitasnya barang sejenak.

Mereka yang masih berkeliaran di jalan, sebagian memilih berteduh di bawah atap ruko, saling berdesakan hanya untuk melindungi diri dari basah. Sebagian lainnya memilih untuk menerobos hujan, mengabaikan tubuhnya yang basah kuyup.

Sama halnya dengan Aksa yang tengah berjalan gontai di bawah guyuran hujan, terlalu abai pada tubuhnya yang basah. Ia tenteng kresek merah berisi tas serta berkas-berkas lamarannya di tangan kanan. Sekali lagi, surat lamaran kerjanya ditolak oleh perusahaan.

Rasa putus asa di hatinya semakin menyeruak. Terlalu enggan untuk menyerah, namun begitu lelah untuk melanjutkan. Tabungannya sudah mulai menipis, sedangkan tanggung jawabnya masih terlalu besar.

Memaksa Angan Angan

Sepasang mata dengan netra gelap itu terlihat memerah, entah karena air hujan yang mengguyur ataukah sedih yang mendera hati. Aksa hentikan langkah di depan cafe. Ia tatap sejenak seisi cafe yang penuh dengan pelanggan. Senyumnya terukir. “Enak banget hujan-hujan begini bisa menikmati kopi hangat.” hatinya berucap.

Bayang-bayang hidup yang nyaman memenuhi pikirannya. Berbagai angan dan harapan menelisik jiwa rapuh yang bersembunyi di balik tawa. Ia lanjutkan langkah untuk pulang. Tak ingin berlarut dalam angan yang hanya bisa dibayangkan. Sepetak kamar kos di pinggir kota sudah menanti kepulangannya, meski hanya untuk beristirahat sebentar.

Baca juga: Kemuliaan Bekerja di Sektor Pertanian dalam Islam

Kembali Berperang

Atma itu kembali berperang di bawah terik sinar mentari. Berkeliling kota, bertanya dari satu pabrik ke pabrik lainnya, dari satu kantor ke kantor lainnya, berharap ada setitik cahaya mengenai lowongan pekerjaan yang bisa ia masuki. Tak berhenti di sana, lamaran-lamaran melalui email dan berbagai aplikasi jobseeker pun ia kirimkan. Namun, Tuhan masih ingin menguji Aksa lebih dalam.

Wajahnya sudah mulai kusut. Debu dan asap kendaraan menempel erat di tubuhnya. Semangat yang tadi pagi membara kini mulai redup. Bunyi perutnya yang belum diisi pun semakin keras terdengar. Aksa putuskan berbelok ke warung untuk membeli sepiring nasi uduk.

Duduk dengan tenang di bagian pojok, Aksa nikmati sepiring nasi disisihi lauk sederhana itu dengan khidmat.

”Kaaak” suara lirih dan tepukan pelan di bahu mengganggu fokus Aksa.

Ia abaikan panggilan tersebut karena merasa tak penting. Aksa tak punya janji dengan siapapun. Ia hanya mampir ke warung tersebut lantaran merasa lapar. Namun, berkali-kali tepukan ringan itu hampiri pundaknya. Membuatnya mau tak mau menoleh ke samping.

Seorang bocah laki-laki yang Aksa perkirakan berumur sekitar 12 tahunan berdiri dengan melas di sana. Menatapnya dengan penuh harap. Kedua bibirnya terkatup rapat setelah mendapat tatapan tajam dari Aksa.

”Kenapa?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Aksa.

Si bocah hanya menatapnya dengan lamat, lalu beralih menatap piring Aksa yang isinya tinggal separuh. Sisakan bakwan jagung dan beberapa sayuran pendamping. Ia meneguk ludahnya kasar, binar penuh harap itu ia tunjukkan. Berharap yang lebih tua paham jika ia inginkan makanan di depannya.

Keadaan Sama Sesak

Aksa berdiri dari duduknya, hasilkan tanda tanya dalam benak si bocah. Ia dekati tempat pemesanan, lalu kembali dengan membawa sepiring nasi dan lauk yang sama dengan miliknya tadi.

Duduk ke kursinya tadi, ia letakkan sepiring nasi tersebut di sampingnya. ”Duduk sini, makan.” ucapnya, menepuk bangku sebelahnya, Ia menyuruh bocah itu untuk duduk di sampingnya. Senyum tulus terbit dari kedua belah bibir anak kecil itu. Tentu, Aksa pun ikut tersenyum lebar melihatnya.

Keduanya kembali terdiam, sibuk dengan makanan masing-masing. Aksa selesai terlebih dahulu. Enggan beranjak, ia masih menetap di tempatnya dengan pikiran yang mulai berisik memenuhi kepala. Tentang keputusannya memberi makan bocah yang kini tengah anteng makan, padahal uang itu ia niatkan untuk jatah makan esok hari. Pun tentang rencana yang mulai ia susun acak untuk menghadapi hari esok yang bisa saja semakin berat.

Di tengah bimbang hatinya, Aksa perhatikan bocah di sampingnya. Mukanya tirus dengan badan kurus, pun debu yang menghias seluruh tubuhnya. Namun, senyum indah yang menghias wajahnya membuat hati Aksa menghangat. ”Jadi ingat Deni.” Satu-satunya saudara yang Aksa miliki.

Sedikit banyak, hadirnya bocah ini mengobati kegaduhan hatinya. Membuatnya kembali semangat karena mengingat ada keluarga yang harus Ia banggakan. Meskipun hal itu juga membuat rasa rindunya pada rumah semakin meningkat.

Hidup yang Hampir Redup

Tiga bulan berlalu begitu cepat. Aksa masih belum sampai pada titik pemberhentiannya. Beberapa kali ia berhasil sampai tahap wawancara, namun belum juga diterima kerja. Ia sudah lelah. Ingin rasanya menyerah.

Matahari sudah beranjak sedari tadi. Kini sinarnya begitu terik menerjang bumi. Memberikan rezeki bagi para penjual es di pinggir jalan. Kehidupan berjalan dengan semestinya. Jalanan yang macet di jam istirahat makan siang. Toko-toko yang sibuk melayani pembeli, pun anak-anak sekolah yang tengah menikmati waktu istirahat setelah diterjang segudang materi.

Seakan abai pada seonggok daging bernyawa yang kini tengah meringkuk di pojok kamar. Wajah basah penuh air mata dengan kantung mata yang tercetak jelas. Keadaan kamar yang sudah jauh dari kata rapi, layaknya gudang tak terpakai. Juga penerangan yang tak dinyalakan. Menambah kesan mengerikan kamar milik Aksa.

Lelaki itu kacau. Ia telah sampai pada titik terendah kemampuan dirinya. Hati kecilnya berteriak takut, begitu kalut hingga ia hanya bisa menekuk lutut. Bungkam penuh bibirnya yang bergetar sebab tangis yang belum reda.

Abai pada kesehatan, lupakan fakta bahwasannya sudah tiga hari ia mengurung diri di dalam kamar gelap itu. Tinggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba. Aksa pikir Tuhan begitu jahat. Ingin Aksa balas dendam. Sayangnya dia lupa kalau dia hanyalah seorang hamba.

Baca juga: Mengetahui Keindahan Al-Qur’an Melalui Lafal “Hamdalah”

Cahaya Terang Datang

”Mas Aksa!”

Teriakan Deni menyadarkan Aksa dari kekalutannya. Adiknya datang secara tiba-tiba. Bukan. Aksa yang tidak sadar dengan kehadiran Deni. Berkali-kali pintunya diketuk oleh saudara bungsunya, namun tak ada jawaban.

Memaksa Deni untuk berlaku tak sopan dengan meminjam kunci cadangan pada pemilik kos untuk masuk ke dalam kamar Aksa. Begitu masuk, ia dikejutkan dengan keadaan kakaknya yang jauh dari kata baik-baik saja.

Tatapan mata Aksa kosong, seperti tidak ada kehidupan di sana. Deni rengkuh tubuh lemah Aksa, membawanya ke dalam pelukan hangat penuh ketulusan. Ia usap punggung yang selama ini begitu tegar.

Biarkan Aksa sandarkan diri padanya. Tak pernah ia bayangkan kakaknya akan selemah ini. Aksa itu panutan bagi Deni, sosok yang akan selalu ia contoh. Sosok hebat yang penuh dengan kehangatan.

Setelah dirasa tenang, Deni bawa sosok Aksa ke atas kasur, ia buka gorden yang masih tertutup rapat. Biarkan sinar mentari masuk menerangi ruangan. Ia bawakan segelas air, lalu berikan pada yang lebih tua.

”Gimana bisa kamu ke sini?” Aksa lontarkan pertanyaan setelah meneguk habis air minumnya.

Deni ambil gelas dari genggaman Aksa, menaruhnya kembali ke atas meja. ”Ibu yang minta aku kesini. Seminggu penuh Mas Aksa ga bisa dihubungi, kami khawatir.”

Pelukan yang Menyadarkan

Senyum tipis terukir di bibir Aksa. Ternyata, masih ada yang peduli padanya. Hatinya sedikit menghangat. Namun, urung membuatnya tenang. Masih ada rasa yang mengganjal di hatinya.

“Mas, mau cerita?” Deni fokuskan perhatiannya pada Aksa. Siap dengarkan keluhan yang akan keluar dari bibir pucat sang kakak.

Menit berlalu hanya dengan keheningan. Deni yang setia menunggu, sedang Aksa yang coba yakinkan diri untuk bercerita. Ada ketakutan di mata Aksa yang bisa Deni lihat. ”Cerita aja, Mas. Siapa tahu Deni bisa bantu.”

Aksa tarik nafas panjang. ”Mas cuma lagi capek. Tapi kali ini bener-bener udah diambang batas kemampuan Mas.”

Deni kembali peluk kakaknya. Usap lembut punggung yang kini sedang lelah. “Beban Mas pasti banyak. Makasih udah berjuang selama ini.”

Aksa anggukkan kepalanya, kembali bungkam. Yang lebih muda tarik diri, pegang erat kedua bahu Aksa. Fokuskan pandang pada netra segelap jelaga milik Aksa. ”Pulang yuk, Mas. Istirahat dulu sebentar dari kerasnya dunia. Ibu sama Bapak kangen.”

Yang lebih tua anggukkan kepalanya lagi. Setujui ajakan Deni untuk melipir sejenak.

”Gak semuanya harus sempurna, Mas. Selesai secara tepat, pun dengan cara yang pasti tepat. Jangan dipaksakan. Pelan, dinikmati dan jangan dibenci. Kembali, pada pemilik hierarki. Yakin, semuanya akan baik-baik aja.”

Penulis: Al Wardatul Mahfudhoh

Editor: Bella Fadhilatus Sanah

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *