Dunia IslamEssaySastraTokoh

Jangan Menjual Agama Hanya Demi Dunia: Kisah Inspiratif Syahidah Pertama dalam Islam

Suatu agama berdiri di atas aqidah setiap insan manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa aqidah merupakan dasar atau pokok berdirinya Agama. Agama dan aqidah adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Beraqidah tanpa beragama atau berahama tanpa beraqidah adalah mustahil terlaksana.

Kata aqidah berasal dari bahasa arab yakni, عقد – يعقد – عقيدة yang berarti ikatan, atau diartikan dangan ما عقد عليه القلب و الضمير (sesuatu yang ditetapkan atau yang diyakini oleh hati dan nurani). Menurut Ibnu Taimiyah, aqidah merupakan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam hati, dengan aqidah hati akan tenang, sehingga jiwa menjadi yakin serta mantap tanpa keraguan dan kebimbangan. Aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Aqidah bagaikan pondasi bangunan dalam beragam sedangkan ibadah merupakan sesuatu yang dibangun di atasnya. Dengan pondasi yang kokoh, akan berdiri sebuah bangunan yang tegak berdiri. Begitu juga dengan konsep aqidah. Jika seseorang memiliki aqidah atau dasar yang kuat maka akan tercipta pribadi muslim yang kuat.

Sebuah kisah inspiratif datang dari Sumayyah bin Khayyat beserta keluarganya, yakni perihal memertaruhkan nyawa demi menegakkan aqidahnya, meski diserang dengan meriam kebencian dari pihak kafir Quraisy, yang tidak lain adalah orang yang dekat dengannya.

Sumayyah binti Khayyat merupakan hamba sahaya dari Hudzaifah bin Mughirah. Budak perempuan ini kemudian dinikahkan dengan seorang pendatang miskin dari Yaman yang menetap di Makkah, Yasir bin Amir. Yasir mendapatkan perlindungan dari Bani Makzum di Makkah, sehingga mereka dapat melangsungkan pernikahannya. Pada kala itu, Sumayyah dan Yasir hidup dengan sebatang kara dan serba kesulitan. Bahkan hampir tidak ada kabilah yang berpihak kepada mereka, karena mereka berada di bawah aturan yang berlaku di masa jahiliyyah. Dari pernikahannya ini, mereka memiliki dua anak laki-laki, yakni Ammar dan Ubaidillah.

Waktu demi waktu berlalu, hingga Ammar menjadi dewasa. Pada suatu hari, Ammar mendengar Dakwah Rasulullah mengenai agama Islam. Agama rahmatan lil ‘Alamin atau agama yang penuh dengan kasih sayang. Setelah mendengar berita tersebut, Ammar tertarik dengan agama Islam dan terpanggil untuk mempelajari Islam. Ammar benar-benar merindukan keadilan dan kasih sayang dari Tuhan. Ia merasa bahwa agama Islam adalah sesuai dengan fitrah kemanusiaan, seperti tidak adanya penghambaan hakiki selain kepada Tuhannya. Akhirnya, Ammar mendapat hidayah dan memutuskan untuk memeluk agama Islam. Kemudian dia pulang menuju kepada kedua orang tuanya dengan statusnya sebagai Muslim. Ammar segera mengabarkan berita baik ini kepada mereka dan menceritakan pertemuannya dengan Rasulullah SAW, kesopanan dan kelembutan hati Rasulullah. Ternyata, kedua orang tua Ammar dan juga adiknya menyambut baik ajakan Ammar dan mereka semua masuk Islam. Sumayyah dan keluarganya tergolong dalam assabiqun al awwalun, yaitu menjadi urutan  ketujuh yang masuk Islam.

Dibalik masuk Islamnya keluarga kecil Sumayyah, ternyata mengundang amarah dari pihak kafir Quraisy, termasuk Bani Makzum yang menjadi penjamin atas perpindahan Yasir di Makkah. Setelah mendengar berita Islamnya Sumayyah beserta suami dan anaknya, pihak Bani Makzum bergegas mencarinya dan menangkap keluarga Sumayyah dan Yasir. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya siksaan yang ditimpakan kepada keluarga Sumayyah dan Yasir. Mereka memaksa Sumayyah dan keluarganya untuk keluar rumah rumah yang ketika itu keadannya sangat panas dan menyengat. Lebih dari itu, Sumayyah disiksa dan ditutupi badannya dengan pasir yang panas, diikat pada tiang di bawah terik matahari hingga dicambuki punggunya sampai memerah. Adapun Yassir juga disiksa demikian, bahkan pernah sampai dibakar hidup-hidup.

Kafir Quraisy tidak henti-henti menyiksa keluarga Sumayyah. Tujuan mereka hanya satu, menjadikan Sumayyah dan keluarganya murtad dari Islam dan kembali ke ajaran Nenek Moyang mereka. Namun, siksaan yang yang bertubi-tubi itu tidak menjadikan Sumayyah lantas menyerah dan murtad dari Islam. Justru menjadi pecut semangat utuk mempertahankan aqidahnya.

Suatu ketika Nabi Muhammad melihat penyiksaan yang menimpa keluarga muslim ini, maka Nabi Muhammaad berdoa dengan menengadahkan tangannya ke langit “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” Mendengar do’a Nabi, hati Sumayyah menjadi lebih tentram, dan menambah keoptimisannya terhadap Islam, seraya berucap, “aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dna janjimu adalah benar.” Dari sini sangat nampak sekali betapa kuatnya keimanan Sumayyah. Kokohnya pendirian Sumayyah tidak lain adalah karena pondasi aqidah yang menghujam kuat dalam hatinya. Sehingga, siksaan yang keras sekalipun hanya dianggap seperti lompatan pada batu kerikil.

Tanggapan serius dilontarkan oleh Abu Jahal dan kaum kafir Quraisy. Abu Jahal kembali meyusun strategi untuk menyiksa seberat-beratnya keluarga Sumayyah. Mereka dibuang ke padang pasir yang panas dan ditimpakan di atasnya berupa batu besar yang panas. Sambil merintih kesakitan, Sumayyah tetap lantang menyebut nama Allah. Abu Jahal kembali menawarkan perdamaian. Ia menawarkan dua pilihan. Pertama, melepas Sumayyah dan keluarganya namun dengan syarat harus keluar dari Agama Islam atau pilihan kedua, tetap beragama Islam namun akan menghadap kematian di tangan kaum Quraisy. Sumayyah tetap menolaknya dengan tegas, karena baginya Allah lah satu-satunya yang berhak untuk disembah. Karena kesal permintaannya ditolak begitu saja, akhirnya Abu Jahal membunuh Yasir.

Melihat kematian suaminya di tangan kaum kafir Quraisy, dengan beraninya Sumayyah menantang Abu Jahal sehingga membuat Abu Jahal semakin tidak tahan emosi. Abu ajahal menyuruh Sumayyah untuk memaki-maki Tuhannya dan Muhammad serta tetap menawarkan jaminan kebebasan dari penyiksaan. Akan tetapi respon yang diterima Sumayyah bukanlah menyerah. Sumayyah justri meludahi wajah Abu Jahal sehingga kejengkelan Abuu Jahal memuncak. Secara spontan Abu Jahal menusuk Sumayyah denan tombak. Seketika darah segar keimanan Sumayyah menyiprat di hamparan pasir yang panas. Maka wafatlah Sumayyah dan gugurlah ia sebagai syahidah pertama dalam Islam.

Sumayyah dan Yasir, sepasang suami istri muslim yang gugur dalam keadaan iman. Buah keteguhan aqidah mereka menjadikan mereka sebagai penghuni surga Allah.

Peristiwa pembunuhan keduanya tersebut disaksikan oleh anaknya, Ammar bin Yasir. Pihak kaum kafir Quraisy sengaja membiarkan Ammar hidup dan menyaksikan kejadian ini semua. Mata yang terperangah melihat kematian kedua orang tuanya, menjadikan Ammar kehilangan kesadaran. Ketika itu para kafir Quraisy memaksa Ammar untuk keluar dari Islam. Karena hilangnya kessadaran dan perasaan takut yang meliputi Ammar pada saat itu, ia tidak sadar dan mengiyakan ajakan kaum kafir Quraisy untuk kembali ke ajaran mereka. Setelah kejadian ini, para kafir Quraisy melepaskan Ammar dan Ammar berlari menuju rumah Rasulullah SAW dengan keadaan penuh luka. Ammar mengadukan perihal ini kepada Rasulullah. Ia menangis dan meratapi atas peristiwa yang terjadi kepadanya. Dengan lemah lembut Nabi Muhammad menenangkan perasaan Ammar. Lalu turunlah firman Allah mengenani keadaan yang dialami oleh Ammar, yaitu QS. An-Nahl ayat 106, yang berbunyi:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”

“Wahai Rasulullah, hatiku tetap yakin dengan Islam.”, ucap Ammar.

“Tenanglah Ammar, tidak mengapa. Jika mereka memaksamu untuk kembali kepada ajaran mereka, katakanlah seperti itu. Sesungguhnya Allah telah menurunkan fiman-Nya seperti halnya demikian”, jawab Rasulullah dengan penuh kelembutan.

Demikianlah kisah perjuagan seorang hamba sahaya dalam mematrikan aqidah Islam dalam hatinya. Semangatnya tidak pernah redup dalam menghidupkan nafas keimanan pada dirinya. Lantas bangamana dengan diri kita saat ini? hidup dalam serba kenikmatan dunia. Jika datang suatu cobaan dari Sang Kuasa, apakah tetap kokoh iman kita menghadapinya? Maka dari itu, mari kita bersama memupuk keimanan dalam diri kita. Tanamkan pada diri kita untuk tidak mudah goyah dan menyerah dalam mempertahankan aqidah Islam.

Jangan menjual agama demi dunia, Jangan pernah mengorbankan surga hanya untuk kesenangan dunia. (KH. Marzuki Mustamar)

Penulis : Novia A’yun

Editor   : RH. Ula

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *